Untuk menjadi manusia yang betul-betul berguna kepada agama, bangsa dan
negara, 3 elemen iaitu hati, jiwa dan akal perlu digunakan secara tidak
terpisah. Pepatah ada meneyebut:
1) ‘Ikut hati mati’
2) ‘Ikut rasa binasa’
3) ‘Ikut nafsu lesu'
Kadang-kadang
kita tak terfikir pun kenapa pepatah sebegitu boleh wujud. Sebenarnya
terdapat maksud tersirat disebaliknya. Ragam manusia pelbagai-bagai
tetapi selagi manusia itu ada hati, jiwa dan akal yang digunakan secara
seiring, mereka tidak akan terjebak melakukan perkara-perkara mungkar,
perkara yang merosakkan diri, kebinasaan dan lain-lain perkara buruk.
Beberapa contoh jelas tentang 3 elemen dlm diri manusia yg tidak
digunakan secara seiring:-
1)Orang yang putus cinta sanggup
membunuh diri kerana terlalu kecewa. Golongan ini memiliki jiwa yang
kosong, hanya terlalu mengikut kehendak hati sahaja tanpa menggunakan
pemikiran yang waras.
2) Orang yang sentiasa berkata-kata dengan
kata-kata yang berunsur umpatan, kejian, kutukan dan fitnah. Golongan
ini telah dirasuki jiwa mereka dengan sifat2 iblis, meluahkan perkataan
tanpa berfikir dan rasa bersalah.
3) Orang yang cepat marah/baran.
Mereka ini mempunyai jiwa yang celaru dan pemikiran yang tidak tenteram.
Ingatlah bahawa, sifat marah itu ada kaitannya dengan kekosongan jiwa.
Mungkin mereka telah lama meninggalkan amalan yang disuruh oleh Allah.
Contohnya mereka tidak lagi atau jarang solat, tidak lagi atau jarang
berzikir, tidak lagi membaca Al-Quran, pemikiran mereka hanya tertumpu
kepada keduniaan semata-mata bahkan mungkin mereka telah berlaku syirik
kepada Allah.
4) Golongan terpelajar, cendiakawan, bijak pandai
mungkin juga akan terjerat dengan perangkap nafsu, amarah dan
sifat-sifat keji yang lain sekiranya mereka mengkesampingkan 3 elemen
seperti yang dinyatakan. Amalan songsang yang menyimpang dari jalan
Allah hampir setiap hari kedengaran melibatkan golongan ini. Siapa
sebenarnya yang harus dipersalahkan?
Bijak bukan beerti seseorang
itu beriman, pangkat yang tinggi juga bukan beerti seseorang itu
beriman, hebat juga bukan beerti seseorang itu beriman bahkan harus
diingat, orang yang beriman itu memiliki keseluruhan kebersihan hati,
jiwa, pemikiran yang meletakkan mereka sangat mulia disisi Allah.
Kemaskini diri dengan memurnikan hati, jiwa dan pemikiran boleh
mewujudkan sifat terpuji bagi manusia.
Kesimpulannya, kita
sebagai manusia haruslah sedar bahawa jika kita melakukan sesuatu
perkara yg tidak baik maka kita sebenarnya memisahkan 3 elemen penting
dalam diri kita iaitu hati, jiwa dan akal. Makanan hati dan jiwa adalah
melaksanakan amalan wajib dan sunat yg disuruh oleh Allah manakala
makanan bagi akal kita adalah sentiasa mencari ilmu yg baik untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan kesejahteraan hidup di akhirat.
Wallahhua’lam...
Hitam Putih (indera akal, hati dan jiwa)
Setiap detik dari
perjalanan hidup, menjadi pelajaran untuk melanjutkan langkah hidup,
beraneka rupa warna menghiasi setiap titik perjalanan, ada yang samar
juga yang terang, ada besar kecil, baik buruk dan segala rupa warna
kehidupan, seperti itulah kehidupan menampakkan warnanya. Perjalanan
hidup menjadi pengigat akan eksistensi manusia di permukaan bumi,
kejadian buruk akan menjadi baik di balik khikmahnya kemudian malah
kebaikan tidak mutlak menjadi kebenaran yang manfaatnya tak menjadi
sebuah nikmat. Jejak – jejak yang dapat terbaca dari setiap langkah
kehidupan adalah peringatan akan rapuhnya sebuah kehidupan, kekurangan
juga kesempurnaan menjadi milik dari kehidupan itu sendiri, yang dapat
kita mengerti bahwa manusialah yang menggelantung pada dahan pohon
kehidupan, bukan sebaliknya, kemana hidup membawa arah maka kesitulah
manusia berpijak, pijakan yang kokoh membawa kepadakebaikan yang
sebaliknya pijakan yang rapuh akan menggelincirkan. Keterbatasan akal
pikiran manusia, menunjukkan ketakberdayaan manusia untuk menjangkau
rahasia yang melingkupi sisi kehidupan, kehidupan dengan beraneka warna
pilihan seringkali mengelabui dan pemperdayai, sifat penasaran akan
keingintahuan sesuatu yang menjadi asal muasal dosa penghianatan leluhur
terhadap penciptanya, menjadi kelemahan utama makhluk manusia,
seringkali dengan atau tanpa sadar warna kelam kehidupan menjadi pilihan
yang ujungnya membawa bencana dan malapetaka. Perkataan baik atau buruk
menjadi kesia – siaan yang berpangkal tak berujung, cita – cita manusia
tentang hidup menjadi fatamorgana, apa yang terjadi maka terjadilah,
kehidupan menuntun jalanya sendiri, yang terbersit di hati penuntun jiwa
adalah bisikan kehidupan itu sendiri yang menjadi arah langkah
kehidupan.
Pernak – pernik hidup
dengan segala kebutuhanya telah menampakkan warna kehidupan yang
sesungguhya, ada yang nampak dengan hitam juga dengan putih, ada yang
kanan juga ada kiri yang kesemuanya akan berakhir tanpa makna. Maha
karya akal pikiran tak lain dan tak bukan sebenarnya berasal dari angan
manusia yang hakikatnya adalah sebuah kesia – siaan karena alam fana ini
bukanlah alam keabadian, yang menjelaskan bahwa penciptaan manusia
bukan tanpa sebab dan tanpa rencana. Kebangaan manusia akan hasil cipta
akal pikiran adalah cara kehidupan menghargai kehadiran manusia di
permukaan bumi, akal pikiran dengan maha karyanya tak berkolerasi dengan
makhluk di alam lainya, juga dengan kehidupan di alam sebelum dan
sesudahnya. Langkah – langkah manusia di permukaan bumi adalah langkah
ketidakberdayaan, akal pikiran menjadi tahta tertinggi alam semesta akan
tetapi akal pulalah yang menjadikan manusia sebagai tuhan atas dirinya,
terperdaya oleh kelemahanya sendiri, sebuah pohon yang berbuah
simalakama.
Pada hakikatnya yang
manusia miliki hanyalah hati dan jiwanya, yang melekat diantaranya
adalah perantara berkehidupan yang menjadi miliknya. Ungkapan hati
adalah cerminan jiwa, yang akan nampak di setiap sisi – sisi alam, jiwa
yang di berkati menjadi penerang hati penuntun ragawi menjadikan
penghuni suci seluruh alam menyampaikan salam sejahtera kepadanya.
Setiap jiwa menjadi penanggung setiap langkah hati, terbersit kemudian
keluar yang merupakan buah dari pikiran, baik buruknya adalah pancaran
jiwa dari jiwa yang tenang diberkati dan jiwa tak terberkati. Hati yang
menjadi inti dari gerak langkah nafas manusia bersumber dari kesucian
kemudian mendapatkan pancaran cahaya dari jiwa yang menyampaikan pesan
peringatan dari sang ilahi, yang dalam perjalanan menempuh batas waktu
tercemari kotornya alam dunia, membuat hati menjadi buta sehingga hati
tak dapat lagi mengenal pancaran – pancaran ilahi, membuat hati menjadi
sakit sehingga hati tak lagi mengenal sisi – sisi kemanusian dan
ketuhanan.Kotornya dunia menjadikan hati tak berdaya membedakan kebaikan
dan keburukan, merasakan sentuhan ilahi yang terpancar dari jiwa.
Segala bentuk kemudharatan berasal dari kotornya dunia yang tersirat ke
dalam sengumpal darah (hati), yang apabila segumpal darah itu
tak mampu menyaring kekotoran itu, maka yang terbersit darinya adalah
keburukan. Pembersihan hati melalui sentuhan rohaniah spiritual, akan
membuka cakrawala kebenaran hakiki yang merupakan pengejawantahan sat
ilahiah di muka bumi, menjadikan manusia mampu merasakan sentuhan
ilahiah dari jiwa ke dalam nurani insani, yang pada hakekatnya berasal
darinya kemudian akan kembali kepadanya.
Jiwa yang menggerakkan
indera manusia yang bersumber dari kesucian lambat laun tercemari oleh
akal pikiran di karenakan respon indera manusia terhadap perilaku dunia.
Akal pikiran mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
jiwa, dimana indera merespon segala perilaku dunia kemudian
menghantarkanya ke akal pikiran manusia yang kemudian akal pikiran
menyimpanya ke dalam memory otakmanusia, kemudian membenamkanya ke dalam
hati sehingga baik buruknya hati bergantung dari pengaruhnya (input).
Hati manusia lambat laun akan penuh warna, keburukan, kebenaran,
kelembutan, kekerasan, kejujuran, ketamakan dan segala bentuk perilaku
keduniawian. Hati inilah yang menjadi terminal dari lahiriah, yang
kemudian mengirimkan sinyal ke jiwa tentang bagaimana keadaan ragawi
mengenai hubunganya dengan alam dunia. Apabila sinyal yang tersampaikan
mengandung kebaikan, maka bersihlah jiwa dari pengaruh dunia dan
sebaliknya apabila sinyal yang di sampaikan mengandung keburukan maka
menjadi buruklah segala perilaku jiwa dan ragawi.
Pembersihan jiwa, hati dan akal pikiran dimulai dari pembersihan indra melalui penegakan syariat
(amar ma’ru nahi munkar),
antara yang perintah dan larangan, yang dosa dan amal, yang haram dan
halal, baik buruk dan segala bentuk batasan – batasan manusia dalam
menjalankan kehidupan duniawinya. Kemampuan indera untuk menempatkan
kebaikan atas keburukan dari perilaku dunia, akan mempengaruhi cara
pandang akal pikiran mengenai dunia, akal pikiran akan bekerja memilah
yang baik dan buruk yang kemudian mempengaruhi hati untuk menguatkanya
(keteguhan hati), jiwa untuk menyucikanya yang kemudian memunculkan
keimanan dan ketaqwaan.
Pembersihan diri ini akan memancarkan cahaya ilahia ke dalam sanubari
manusia sehingga langkah – langkah manusia menjurus kepada kebaikan,
mengangkat citra manusia di hadapan sang pencipta sebagai
rahmatan lil alamin.
ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI
Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling
sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan
Ibnu’Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi
yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia
merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat
Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan
ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau
kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada
hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur
materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu
mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para
sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa
(al-nafs), akal (al-’aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh
berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai
alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan
dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa.
Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia
selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup
Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri
manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh
merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halaya
dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina
dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati
(tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi
benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan.
Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh
dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil
dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari
segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang
merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakekat, ia
dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan
Penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs)
manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela
pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang
beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri
ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat
jahat. Firman Allah, “
Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat.” (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia
yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada
Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, “
Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela.” (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang
tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, “Hai jiwa yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan
masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku.” (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan
perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yangtelah mencapai
tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah.
Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk
surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh.
Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan
ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa
mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, “Demi
jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan
dan ketaqwaan.” (QS.91:7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi
buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau
logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya
berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan “hati” adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala
disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut
rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu
pengetahuan akal (ma’rifat aqliyah) dan pengetahuan hati
(ma’rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan
akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan
tertinggi –akal perolehan (akal mustafad)– ia dapat mengetahui
kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan
menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (sorga). Namun, jika
akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak
berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam
kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur.
Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan
manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan
pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang
tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.
HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma terjemahan dari kata
bahasa Arab qalb.Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb
adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan
ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada
sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di
sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa
lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus,
hati-nurani –daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati,
di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa
(dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma’rifat
qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, “Mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakan memahaminya.” (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa
menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang
berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara
mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan
manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma’rifat aqliyah),
sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah).
Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau
sumber ma’rifat –suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal
ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa
nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta
menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat
hidup zuhud yang penuh taqwa, wara’ serta dzikir yang kontinyu, ilmu
ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati,
sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma’rifat, dan akan
mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi
ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah
sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang
kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan
membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit
hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati
nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan
justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah
menjadi hati dhulmani –hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil
perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud
dengan firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang
mengotorinya.” (QS. 91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin
hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara
ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu
itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta
mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt.
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada
seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis
buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan
diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati
nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati.
Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap
hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa
belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs
atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda
manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs
nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan
pengontrolan hati dhulmani.