Monday, June 6, 2011

HATI, JIWA, AKAL PERLU SEIRING


Untuk menjadi manusia yang betul-betul berguna kepada agama, bangsa dan negara, 3 elemen iaitu hati, jiwa dan akal perlu digunakan secara tidak terpisah. Pepatah ada meneyebut:

1) ‘Ikut hati mati’
2) ‘Ikut rasa binasa’
3) ‘Ikut nafsu lesu'

Kadang-kadang kita tak terfikir pun kenapa pepatah sebegitu boleh wujud. Sebenarnya terdapat maksud tersirat disebaliknya. Ragam manusia pelbagai-bagai tetapi selagi manusia itu ada hati, jiwa dan akal yang digunakan secara seiring, mereka tidak akan terjebak melakukan perkara-perkara mungkar, perkara yang merosakkan diri, kebinasaan dan lain-lain perkara buruk. Beberapa contoh jelas tentang 3 elemen dlm diri manusia yg tidak digunakan secara seiring:-

1)Orang yang putus cinta sanggup membunuh diri kerana terlalu kecewa. Golongan ini memiliki jiwa yang kosong, hanya terlalu mengikut kehendak hati sahaja tanpa menggunakan pemikiran yang waras.
2) Orang yang sentiasa berkata-kata dengan kata-kata yang berunsur umpatan, kejian, kutukan dan fitnah. Golongan ini telah dirasuki jiwa mereka dengan sifat2 iblis, meluahkan perkataan tanpa berfikir dan rasa bersalah.
3) Orang yang cepat marah/baran. Mereka ini mempunyai jiwa yang celaru dan pemikiran yang tidak tenteram. Ingatlah bahawa, sifat marah itu ada kaitannya dengan kekosongan jiwa. Mungkin mereka telah lama meninggalkan amalan yang disuruh oleh Allah. Contohnya mereka tidak lagi atau jarang solat, tidak lagi atau jarang berzikir, tidak lagi membaca Al-Quran, pemikiran mereka hanya tertumpu kepada keduniaan semata-mata bahkan mungkin mereka telah berlaku syirik kepada Allah.
4) Golongan terpelajar, cendiakawan, bijak pandai mungkin juga akan terjerat dengan perangkap nafsu, amarah dan sifat-sifat keji yang lain sekiranya mereka mengkesampingkan 3 elemen seperti yang dinyatakan. Amalan songsang yang menyimpang dari jalan Allah hampir setiap hari kedengaran melibatkan golongan ini. Siapa sebenarnya yang harus dipersalahkan?

Bijak bukan beerti seseorang itu beriman, pangkat yang tinggi juga bukan beerti seseorang itu beriman, hebat juga bukan beerti seseorang itu beriman bahkan harus diingat, orang yang beriman itu memiliki keseluruhan kebersihan hati, jiwa, pemikiran yang meletakkan mereka sangat mulia disisi Allah. Kemaskini diri dengan memurnikan hati, jiwa dan pemikiran boleh mewujudkan sifat terpuji bagi manusia.

Kesimpulannya, kita sebagai manusia haruslah sedar bahawa jika kita melakukan sesuatu perkara yg tidak baik maka kita sebenarnya memisahkan 3 elemen penting dalam diri kita iaitu hati, jiwa dan akal. Makanan hati dan jiwa adalah melaksanakan amalan wajib dan sunat yg disuruh oleh Allah manakala makanan bagi akal kita adalah sentiasa mencari ilmu yg baik untuk kebahagiaan hidup di dunia dan kesejahteraan hidup di akhirat. Wallahhua’lam...


Hitam Putih (indera akal, hati dan jiwa)

Setiap detik dari perjalanan hidup, menjadi pelajaran untuk melanjutkan langkah hidup, beraneka rupa warna menghiasi setiap titik perjalanan, ada yang samar juga yang terang, ada besar kecil, baik buruk dan segala rupa warna kehidupan, seperti itulah kehidupan menampakkan warnanya. Perjalanan hidup menjadi pengigat akan eksistensi manusia di permukaan bumi, kejadian buruk akan menjadi baik di balik khikmahnya kemudian malah kebaikan tidak mutlak menjadi kebenaran yang manfaatnya tak menjadi sebuah nikmat. Jejak – jejak yang dapat terbaca dari setiap langkah kehidupan adalah peringatan akan rapuhnya sebuah kehidupan, kekurangan juga kesempurnaan menjadi milik dari kehidupan itu sendiri, yang dapat kita mengerti bahwa manusialah yang menggelantung pada dahan pohon kehidupan, bukan sebaliknya, kemana hidup membawa arah maka kesitulah manusia berpijak, pijakan yang kokoh membawa kepadakebaikan yang sebaliknya pijakan yang rapuh akan menggelincirkan. Keterbatasan akal pikiran manusia, menunjukkan ketakberdayaan manusia untuk menjangkau rahasia yang melingkupi sisi kehidupan, kehidupan dengan beraneka warna pilihan seringkali mengelabui dan pemperdayai, sifat penasaran akan keingintahuan sesuatu yang menjadi asal muasal dosa penghianatan leluhur terhadap penciptanya, menjadi kelemahan utama makhluk manusia, seringkali dengan atau tanpa sadar warna kelam kehidupan menjadi pilihan yang ujungnya membawa bencana dan malapetaka. Perkataan baik atau buruk menjadi kesia – siaan yang berpangkal tak berujung, cita – cita manusia tentang hidup menjadi fatamorgana, apa yang terjadi maka terjadilah, kehidupan menuntun jalanya sendiri, yang terbersit di hati penuntun jiwa adalah bisikan kehidupan itu sendiri yang menjadi arah langkah kehidupan.

Pernak – pernik hidup dengan segala kebutuhanya telah menampakkan warna kehidupan yang sesungguhya, ada yang nampak dengan hitam juga dengan putih, ada yang kanan juga ada kiri yang kesemuanya akan berakhir tanpa makna. Maha karya akal pikiran tak lain dan tak bukan sebenarnya berasal dari angan manusia yang hakikatnya adalah sebuah kesia – siaan karena alam fana ini bukanlah alam keabadian, yang menjelaskan bahwa penciptaan manusia bukan tanpa sebab dan tanpa rencana. Kebangaan manusia akan hasil cipta akal pikiran adalah cara kehidupan menghargai kehadiran manusia di permukaan bumi, akal pikiran dengan maha karyanya tak berkolerasi dengan makhluk di alam lainya, juga dengan kehidupan di alam sebelum dan sesudahnya. Langkah – langkah manusia di permukaan bumi adalah langkah ketidakberdayaan, akal pikiran menjadi tahta tertinggi alam semesta akan tetapi akal pulalah yang menjadikan manusia sebagai tuhan atas dirinya, terperdaya oleh kelemahanya sendiri, sebuah pohon yang berbuah simalakama.

Pada hakikatnya yang manusia miliki hanyalah hati dan jiwanya, yang melekat diantaranya adalah perantara berkehidupan yang menjadi miliknya. Ungkapan hati adalah cerminan jiwa, yang akan nampak di setiap sisi – sisi alam, jiwa yang di berkati menjadi penerang hati penuntun ragawi menjadikan penghuni suci seluruh alam menyampaikan salam sejahtera kepadanya. Setiap jiwa menjadi penanggung setiap langkah hati, terbersit kemudian keluar yang merupakan buah dari pikiran, baik buruknya adalah pancaran jiwa dari jiwa yang tenang diberkati dan jiwa tak terberkati. Hati yang menjadi inti dari gerak langkah nafas manusia bersumber dari kesucian kemudian mendapatkan pancaran cahaya dari jiwa yang menyampaikan pesan peringatan dari sang ilahi, yang dalam perjalanan menempuh batas waktu tercemari kotornya alam dunia, membuat hati menjadi buta sehingga hati tak dapat lagi mengenal pancaran – pancaran ilahi, membuat hati menjadi sakit sehingga hati tak lagi mengenal sisi – sisi kemanusian dan ketuhanan.Kotornya dunia menjadikan hati tak berdaya membedakan kebaikan dan keburukan, merasakan sentuhan ilahi yang terpancar dari jiwa. Segala bentuk kemudharatan berasal dari kotornya dunia yang tersirat ke dalam sengumpal darah (hati), yang apabila segumpal darah itu tak mampu menyaring kekotoran itu, maka yang terbersit darinya adalah keburukan. Pembersihan hati melalui sentuhan rohaniah spiritual, akan membuka cakrawala kebenaran hakiki yang merupakan pengejawantahan sat ilahiah di muka bumi, menjadikan manusia mampu merasakan sentuhan ilahiah dari jiwa ke dalam nurani insani, yang pada hakekatnya berasal darinya kemudian akan kembali kepadanya.

Jiwa yang menggerakkan indera manusia yang bersumber dari kesucian lambat laun tercemari oleh akal pikiran di karenakan respon indera manusia terhadap perilaku dunia. Akal pikiran mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan jiwa, dimana indera merespon segala perilaku dunia kemudian menghantarkanya ke akal pikiran manusia yang kemudian akal pikiran menyimpanya ke dalam memory otakmanusia, kemudian membenamkanya ke dalam hati sehingga baik buruknya hati bergantung dari pengaruhnya (input). Hati manusia lambat laun akan penuh warna, keburukan, kebenaran, kelembutan, kekerasan, kejujuran, ketamakan dan segala bentuk perilaku keduniawian. Hati inilah yang menjadi terminal dari lahiriah, yang kemudian mengirimkan sinyal ke jiwa tentang bagaimana keadaan ragawi mengenai hubunganya dengan alam dunia. Apabila sinyal yang tersampaikan mengandung kebaikan, maka bersihlah jiwa dari pengaruh dunia dan sebaliknya apabila sinyal yang di sampaikan mengandung keburukan maka menjadi buruklah segala perilaku jiwa dan ragawi.

Pembersihan jiwa, hati dan akal pikiran dimulai dari pembersihan indra melalui penegakan syariat (amar ma’ru nahi munkar), antara yang perintah dan larangan, yang dosa dan amal, yang haram dan halal, baik buruk dan segala bentuk batasan – batasan manusia dalam menjalankan kehidupan duniawinya. Kemampuan indera untuk menempatkan kebaikan atas keburukan dari perilaku dunia, akan mempengaruhi cara pandang akal pikiran mengenai dunia, akal pikiran akan bekerja memilah yang baik dan buruk yang kemudian mempengaruhi hati untuk menguatkanya (keteguhan hati), jiwa untuk menyucikanya yang kemudian memunculkan keimanan dan ketaqwaan. Pembersihan diri ini akan memancarkan cahaya ilahia ke dalam sanubari manusia sehingga langkah – langkah manusia menjurus kepada kebaikan, mengangkat citra manusia di hadapan sang pencipta sebagai rahmatan lil alamin.


 ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu’Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-’aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, “Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat.” (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela.” (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku.” (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yangtelah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, “Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan.” (QS.91:7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan “hati” adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma’rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi –akal perolehan (akal mustafad)– ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.
HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani –daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya.” (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma’rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma’rifat –suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara’ serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma’rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani –hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt.
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.

No comments: