Monday, June 6, 2011

Psikologi Sufistik


Selain di kalangan ulama dan teolog, psikologi juga dikembangkan dikalangan para sufi. Tetapi di dunia tasawuf, psikologi tidak dikembangkan terutama untuk tujuan teoritis, melainkan untuk melakukan transformasi jiwa. Karena bagi para sufi transformasi jiwa adalah yang terpenting dalam menuntut sebuah ilmu. Ilmu yang tidak menghasilkan sebuah transformasi jiwa akan dipandang rendah, betapapun canggihnya ia secara teoritis. J. Rumi (w. 1273) pernah mengeritik teologi dan fiqih yang karena kecenderungannya pada formalisme, gagal dalam melakukan transformasi jiwa. Hanya tasawuflah, menurutnya, yang akan mampu melakukan transformasi jiwa seseorang.

Sebenarnya banyak teori psikologi yang telah dikembangkan, disepanjang sejarah panjang pemikiran tasawuf, oleh para sufi, dengan penggunaan istilah-istilah yang berbeda-beda. Tetapi tidak menjadi semacam kesepakatan bahwa psikologi sufi, seperti yang disinyalir oleh Robert Frager, berkisar pada tiga konsep dasar kejiwaan, yaitu hati, diri (nafs) dan jiwa (ruh).
Berikut ini penjelasan mengenai penggunaan istilah-istilah tersebut. Al-Ghazali menyebut jiwa (ruh) dengan hati. Dalam Kimia-yi Sa’adat ia mengatakan: “Sedangkan mengenai realitas hati – benda apakah itu dan apakah sifat-sifat khususnya – hukum wahyu tidak memberikan izin [untuk membahas ini]. Itulah sebabnya Rasulullah tidak menjelaskannya, sebagaimana firman Tuhan, “Mereka bertanya padamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu adalah urusan Tuhanku.”
Jadi jelas bahwa hati yang dimaksud di sini adalah ruh. Ada juga yang menyatakan bahwa jiwa itu saja, meiliki fungsi yang berbeda-beda sehingga diberi nama yang berbeda-beda pula. Misalnya ketika jiwa mengarahkan dirinya kepada Tuhan maka ia disebut ruh. Ketika ia melakukan perenungan atau kontemplasi maka ia disebut akal. Ketika ia menerima iluminasi serta ilham atau mukasyafah, maka ia disebut hati, dan ketika ia ingin berhubungan, atau mengarahkan dirinya pada badan, maka ia disebut nafsu. Sedangkan menurut  para filosof jiwa atau ruh itu tidak lain dari pada akal, yang didefinisikan sebagai jiwa manusia atau jiwa rasional.
Tetapi dari semua penjelasan teoritis tasawuf tentang jiwa manusia, penjelasan ‘Abd al-Razzaq Kasyani (w. 1335) adalah yang paling jelas menerangkan struktur jiwa manusia dan saling berhubungan diantara mereka. Bagi Kasyani unsur-unsur yang paling fundamental dan orisinal dalam diri manusia adalah dua: tanah (turab) dan ruh (jiwa). Namun karena keduanya merupakan dua substansi yang sangat berlainan sifat dasarnya maka keduanya tidak bisa saling berhubungan. Dan karena itu maka Tuhan menciptakan unsur ketiga yang dapat mempertemukan keduanya yang disebut nafs (jiwa), dan karena itu berada tepat diantara keduanya. Dalam bukunya Istilahat al-Shufiyyah, Kasyani menjelaskan definisi serta kedudukan hati sebagai berikut:
Hati adalah substansi yang bercahaya dan terpisah (terletak) antara ruh dan jiwa (nafs). Melalui hatilah kemanusiaan yang sejati (al-insaniyyah) terealisir (tahaqquq). Para filosof mangacu padanya sebagai “jiwa rasional.” Ruh adalah dimensi batinnya, sedangkan jiwa hewan (nafs) adalah tunggangannya serta dimensi lahirnya. Nafsu (jiwa) ini terletak antara ia (hati) dan badan.
Dengan demikian kita bisa melihat kedudukan hati (qalb) yang berada pada posisi tengah antara jiwa (ruh) dan diri atau (nafs). Di bawah nafs terdapat badan, dan di atas ruh ada Tuhan. Selain itu al-Kasyani juga berbicara tentang akal, yang diletakkan antara ruh dan hati, dan shudur (dada) yang terletak antara hati dan nafs (diri). Jadi struktur jiwa (psikologis) manusia menurut al-Kasyani, kira-kira sebagai berikut:

Allah

ruh


akal

HATI


Shudur



Diri (nafs)

Badan

Di sini terlihat betapa hati (qalb) terletak persis ditengah-tengah. Dan karena kedudukannya yang sentral ini, maka hati manusia berada di bawah pengaruh atau tarikan. Sachiko Murata mengatakan keduanya (ruh dan nafs) kadang-kadang ditarik menuju cahaya dan kebahagiaan, kadang-kadang menuju kegelapan dan kesengsaraan. Jika ia naik menuju ruh, ia akan mencapai kesempurnaannya sebagai jiwa rasional (bela-akal). Jika ia turun menuju jiwa yang dikuasai oleh batasan-batasan badan (nafs), ia akan terputus dari cahaya itu.” Kasyani sendiri mengatakan:
Hendaklah kamu ketahui bahwa wajah hati yang dipalingkan pada ruh mendapat cahaya dari cahaya ruh dan disebut “akal.” Ia mendorong menuju kebaikan dan merupakan tempat ke mana ilham malaikat dapat masuk. Wajah hati yang dipalingkan ke arah nafsu itu menjadi gelap melalui kegelapan dari sifat-sifatnya, dan itu dinamakan shudur atau “dada”. Itulah tempat setan berbisik, seperti difirmankan Tuhan, “Dia yang berbisikbisik di dada orang-orang” (QS: 114: 5)
Sekarang marilah kita beralih pada pandangan sufi tentang sifat dasar dasar dari jiwa manusia, yang kadang-kadang disebut hati, ruh atau juga akal. Menurut al-Ghazali ruh – yang ia sebut hati – tidak mempunyai ukuran atau kuantitas, dan karena itu ia tidak dapat dibagi menjadi bagian-bagian. Ruh itu tidak kekal, tetapi ia bukan aksiden. Ia juga bukan badan karena badan dapat dibagi menjadi bagian-bagian, sedangkan ruh tidak. Ruh – yang ia acu sebagai hati – adalah lokus bagi pengetahuan tentang Tuhan, dan ini tidak dimiliki oleh hewan. Kesimpulannya adalah jiwa (ruh) bukanlah badan atau aksiden, melainkan sebuah substansi yang sama dengan substansi para malaikat.
Dalam Masyrb al-Arwah, Ruzbihan Baqli mengatakan, “Hati yang asli adalah realitas yang diberkati, suci dan halus..... Realitas yang halus ini adalah tempat di mana terlihat cahaya yang Tak Terlihat dan sumber ketentuan ilahi....Bentuk hati itu bersifat jasmaniyah, namun realitas hati bersifat surgawi, ruhaniyah berkaitan dengan Dominion (alam malaikat), bercahaya dan ilahiyah....
Pemberian nama yang berbeda-beda kepada jiwa ini tidak perlu membuat kita bingung. Karena dibalik perbedaan nama ini terdapat kesepakatan bahwa jiwa manusia, apakah itu disebut hati, akal atau ruh itu bersifat rohani, bukan jasmani. Jiwa ini, seperti disimpulkan al-Ghazali, tidaklah bersifat jasmani atau bukan juga aksiden sebagaimana sering dikonsepsikan para psikolog melainkan sebuah substansi immaterial, bersifat malakuti dan bahkan ilahiyyah. Dan karena itu tidak akan hancur pada saat kematian. Jiwa bukan otak ataupun fungsi neurologis otak, tetapi ia substansi immaterial yang tidak turut hancur bersama hancurnya otak manusia, tetapi justru akan terus “survive” setelah kematian untuk memetik hasil kerjanya selama karir dunianya ini, di alam akhirat, sebagaimana didoktrinkan oleh agama.
Ada beberapa ahli psikologi Sufi dari Barat, yaitu Syaikh Kebir Helmiski, terkenal dengan salah satu bukunya The Knowing Heart, dan Robert Frager dengan bukunya Heart, Self and Soul. Sebagai ilustrasi bagaimana psikologi Sufi ini berkembang, maka di sini akan disajikan beberapa pokok pikiran yang ada dalam buku Frager, Heart, Self and Soul.
Menurut pengarang buku ini ada tiga konsep sentral dalam psikologi sufi, yaitu Hati, Nafsu dan Ruh (jiwa). Yang dimaksud hati di sini adalah hati spiritual atau seperti yang telah disinggung Realitas hati. Menurut psikologi Sufi, hati memuat kecerdasan dan kearifan kita yang lebih dalam. Ia adalah tempat makrifat. Ia merupakan kecerdasan yang lebih dalam dan lebih dasar daripada kecerdasan abstrak kepala (otak). Cita-cita seorang Sufi adalah mengembangkan hati yang lembut, berperasaan dan memiliki kasih sayang, dan untuk mengembangkan kecerdasan hati. Dikatakan bahwa ketika mata hati kita terbuka, maka kita bisa melihat sesuatu yang ada dibalik kulit luar dari sesuatu, dan ketika telinga hati kita terbuka kita bisa mendengar kebenaran yang tersembunyi di balik kata-kata. Hati menurut Frager dibagi ke dalam empat lapis, atau tirai dalam istilah Rasyid al-Din Maybudi, yaitu shadr (dada) pada bagian luar, qalb (hati) pada bagian dalamnya, fu’ad (hati batiniah) pada lapisan lebih dalam lagi, dan labb atau syaghat di intinya. 
Adapun nafs (diri-menurut istilah Frager), adalah salah satu aspek psikologi yang bermula dari permusuhan kita yang paling buruk tetapi yang kemudian dapat dikembangkan sebagai alat yang berharga. Dalam pandangan Frager, nafsu ini memiliki tujuh tingkatan: dimulai dari nafsu amarah dan diakhiri dengan nafsu murni (al-nafs al-mahdh). Pencapaian tingkat terakhir ini bisa dicapai melalui perjuangan keras (mujahadah), latihan atau disiplin ruhani (riyadah) dan melihat diri pada orang lain. Ketujuh tingkatan nafsu itu adalah: (1) nafsu ammarah, (2) nafsu lawwamah, (3) nafsu mulhamah, (4) nafsu muthma’innah, (5) nafsu radhiyah, (6) nafsu mardhiyyah, (7) nafsu mahdhah.
         Sekarang kita beralih pada komponen sentral yang terakhir, yaitu jiwa atau ruh. Dalam bahasa Arab jiwa disebut ruh, yang berarti “spirit” atau “nafas.” Menurut para Sufi, kita memiliki tujuh jiwa atau tujuh aspek dari jiwa yang komplit, yang masing-masing mewakili tingkat evolusi yang berbeda-beda. Sufi sangat menekankan keseimbangan. Pengembangan satu jiwa tidak untuk melemahkan yang lain. Setiap jiwa memiliki keistimewaan (hadiah) yang berharga dan dalam tasawuf pertumbuhan spiritual yang sejati adalah pertumbuhan yang seimbang dari keseluruhan individu, termasuk tubuh, pikiran dan spirit (jiwa). Banyak sistem dan disiplin hanya fokus pada tubuh-seperti olah raga, bela diri, tekhnik-tekhnik penyembuhan dan disiplin-disiplin fisik lainnya. Sedangkan pendidikan modern, menurut Frager, hampr secara eksklusif fokus pada pikiran. Demikian juga banyak disiplin spiritual yang menekankan prinsip-prinsip dan praktek-praktek spiritual, tetapi mereka mengabaikan pikiran dan tubuh. Dalam tasawuf, seluruh kehidupan adalah bagian dari praktek spiritual. Keluarga, pekerjaan, dan hubungan-hubungan menyediakan kesempatan yang sama banyaknya bagi perkembangan spiritual seperti doa dan kontemplasi. Adapun ketujuh jiwa tersebut adalah: (1) jiwa mineral (ma’dani), tumbuhan (nabati), hewan (hewani), personal (nafsani), kemanusiaan (insani), rahasia (sirri) dan maha rahasia (sirr al-asrar).

No comments: